(SIARAN PERS) Elemen Sipil Tuntut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tetap Masuk Dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2020

BANDA ACEH – Merespon dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan KS) dari Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2020 oleh DPR RI dengan alasan RUU ini “sulit”, Direktur Flower Aceh, Riswati meminta DPR RI untuk memasukan kembali RUU Penghapusan KS dalam daftar PROLEGNAS tahun 2020. “Melihat seluruh kasus pelepasan seksi yang terjadi, pemerintah harus hadir dengan menyediakan anggaran yang memadai dan anggaran sebagai payung hukum untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban kekerasan seksi,”

Izin untuk mengeluarkan RUU Penghapusan KS dalam prolegnas 2020 juga disampaikan Flower Aceh, Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Aceh, Wanita Maret Aceh bersama elemen sipil lainya di Aceh yang tergabung dengan 111 jaringan dan organisasi serta 32 orang Individu se-Indonesia

Riswati menyebutkan “Kasus perlawanan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus terjadi, bahkan pelakunya orang-orang terdekat dan tokoh penting yang harusnya dilindungi. Data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dirilis P2TP2A Aceh melalui situs web resminya, dihapus 1.802 kasus yang ditangani pada tahun 2017, 1.376 kasus pada tahun 2018, 1.044 kasus pada tahun 2019, serta 379 kasus hingga tahun 2020. Di tahun 2020 ada 200 kasus kasus kekerasan terhadap perempuan. Jika dirinci, selama tahun 2020, 3 kasus kekerasan tertinggi yang dialami anak-anak pelecehan seksi sebanyak 69 kasus, pemerkosaan 33 kasus, dan kekerasan psikis 58. Sementara kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pelecehan seksi perempuan 17 kasus, perkosaan sebanyak 9 kasus, KDRT 112 kasus , kerusakan psikis 90 kasus,

Tak jauh berbeda dengan data yang dihimpun oleh LBH Apik Aceh, Roslina Rasyid menyebutkan “Sepanjang Januari-Juni 2020 pihaknya mendampingi 30 kasus KS di 4 Kabupaten / Kota di Aceh, rata-rata korban memilih 3 sd 16 tahun. 70% dari kasus tersebut, pelakunya adalah orang terdekat. Kendala terkait lainnya. Qanun Jinayah, jadi hukuman bagi orang yang suka pertengkaran tapi cambuk. Dampak kebijakan ini merugikan korban, karena perlindungan selesai dicambuk dapat dilepaskan dan dikembalikan ke komunitasnya, juga dapat ditemui lagi dengan korban yang masih mengalami trauma akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Kondisi ini sangat menyakitkan

Pembantu Direktur Tikar Pandan yang juga menyetujui hukum, Yulfan, mengatakan tentang tingkat perlindungan hukum, kesulitan yang paling besar di pembuktian kasus KS yang sulit. “Aturan yang sudah ada saja masih sangat terbatas dan belum dijawab di lapangan. Belum lagi masalah di perspektif aparat penegak hukum yang tidak berpihak pada korban. Selain itu, penanganan khusus di unit PPA di kepolisian hanya ada di tingkat Polres saja, sementara pengaduan lebih banyak terjadi di tingkat desa yang dilakukan oleh Polsek. Ketika korban yang trauma harus berhadapan dengan penanganan yang tidak peka terhadap korban hal yang membuat korban semakin trauma. Nah RUU PKSponsasi, lebih terjamin untuk perempuan dari kekerasan seksual. ”

Menyikapi terus angka perubahan seksi di Indonesia, Ketua Komnas Perempuan periode 2015-2019, Azriana SH mengembalikan urgensi UU Penghapusan KS untuk segera disahkan.

“RUU ini sangat dibutuhkan dan harus segera disahkan untuk mengatasi masalah seksual yang terus terjadi. RUU ini juga untuk mengatasi keterbatasan sistem hukum yang ada di dalam perbaiki seksi. Karena bentuk pertahanan yang mengatur sangat terbatas dengan resolusi yang terbatas, dan sistem pembuktian yang menyulitkan korban. Selain itu, hak korban hanya menerima jika masuk dalam proses peradilan. sebagai pengingat bersama, kekerasan seksual menimbulkan fisik, psikis, kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik bagi korban seketika dan jangka panjang. Tampaknya akan dialami juga oleh keluarga dan komunitasnya. RUU ini memiliki 6 elemen kunci untuk menghapus KS, mulai dari menentang, hukum acara, tindak lanjut kekeasan seksi, pemidanaan, pemulihan, dan pemulihan, ”tegasnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Gender Unsyiah, Nursiti SH, M.Hum menganalogikan bahaya kekerasan seksi ini seperti menghadapi COVID19.

“Kekerasan seksi itu sama berbahayanya dengan COVID19, merupakan suasana luar biasa yang perlu ditangani dengan luar biasa juga. Karena itu, perlu peraturan khusus sehingga dapat dilakukan dengan diselesaikan, mulai dari persetujuan, penegakan hukum dengan berbagai terobosan dan pemulihan untuk korbannya. Butuh bantuan yang intensif, perlu anggaran memadai agar penegak hukum dan pendamping korban bisa bekerja dengan maksimal ”, jelasnya.

Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman mempertanyakan komitmen DPR RI untuk perempuan karena menarik RUU ini dari daftar Prolegnas 2020 dengan alasan ‘sulit’.

“RUU Penghapusan KS sulit ?? sulit mana dengan kondisi korban seksi. Argumen ‘sulit’ itu sangat sulit korban. Sementara angota dewan digaji besar, tidak didukung dengan fasilitas dan tenaga ahli. Selain itu kita dari elemen lokal sejak 2016 mensupport RUU ini, dan urgensi sangat tinggi untuk disahkan. Menerima angka korban atas kekerasan seksi dan pemenuhan hak-hak mereka tidak maksimal. Negara harus hadir, dan mestinya serius dengan isu ini, ”tegas Suraiya.

Berbagai pendapat tersebut disampaikan dalam diskusi virtual yang membedah urgensi RUU Penghapusan KS untuk pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan seksual dengan tema “Jadi Korban yang Sulit, Sahkan RUU Penghapusan KS” di Kantor Flower Aceh, Banda Aceh (6/7). Kegiatan ini dimoderasi oleh Fuadi Mardathilla, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh ini merupakan bagian dari rangkaian advokasi Bunga Aceh untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang didukung untuk pengesahan RUU Penghapusan KS segera dibuka.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *