Tabloid Haba Ureung Inong Edisi 1

POSISI GERAKAN PEREMPUAN ACEH

Sejak Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) I pada 2000, gerakan perempuan Aceh telah memulai tonggak sejarah baru dalam memperjuangkan hak-haknya. Perempuan Aceh telah menjadi inspirasi atas disahkannya kuota 30% kursi perempuan dalam parlemen secara nasional dan penyelesaian konflik Aceh secara damai di meja perundingan. Kedua capaian ini menjadi catatan penting untuk melihat bagaimana perjalanan gerakan perempuan Aceh selama lebih dari satu dekade itu.

DPIA memandatkan kepada gerakan perempuan Aceh memberi perhatian pada tiga isu utama, yaitu syariat Islam, pemenuhan hak korban, dan keterlibatan perempuan dalam politik. Tulisan ini mencoba menganalisa bagaimana posisi gerakan perempuan Aceh di tengah sekian banyak persoalan yang masih menyudutkan posisi perempuan.**
Kesadaran perempuan Aceh terhadap isu-isu sentral di Aceh seperti penegakan syariat Islam, kekerasan atas nama agama dan konflik sumber daya alam menuntut perempuan Aceh untuk mempersiapkan model strategi, kekuatan serta sinergi yang lebih luas dan matang.

Perkembangan menarik terkait DPIA adalah terjadinya transformasi sosial yang melibatkan hampir seluruh komponen perempuan di Aceh. Mulai dari DPIA I pada 2000, DPIA II pada 2005 hingga DPIA III pada 2011. Gerakan perempuan Aceh yang semula hanya terdiri dari organisasi perempuan, organisasi masyarakat, komunitas akar rumput, organisasi agama, pemerintah, meluas dan merangkul hampir seluruh elemen masyarakat perempuan Aceh bahkan ke level individu.

Jalan di tempat

Pasca rehab rekon, terjadi penurunan aktifitas program berbagai organisasi nonpemerintah (LSM) perempuan sebagai akibat langsung dari menurunnya konsentrasi dukungan finansial dari para donor, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap kerja kerja dan advokasi terhadap persoalan perempuan.

Di samping juga dukungan pemerintah, terkait pemenuhan hak-hak perempuan sampai saat ini juga masih jalan di tempat. Namun komunitas akar rumput yang berada di gampong gampong justru menjadi pilar yang menyokong gerakan perempuan Aceh dan tetap terus bergerak mendorong partisipasi perempuan dalam mempengaruhi penetapan kebijakan maupun dalam kegiatankegiatan strategis demi memastikan keterwakilan perempuan dan pemenuhan hakhaknya. Meluasnya kesadaran partisipasi perempuan di ranah publik ini memunculkan sekian banyak tantangan yang bermuara pada dua isu penting, yaitu syariat Islam dan politik.

Dari sisi hambatan finansial dan regulasi, perempuan nyaris tidak menemui kendala dalam mengaktualisasikan diri, tetapi tidak dengan hambatan kultural. Perempuan-perempuan yang memiliki potensi memimpin dan pengambil kebijakan, lagi-lagi masih ‘dicekal’ dengan stigma bahwa perempuan belum boleh memimpin.

Demikian juga halnya dengan stigma bagi beban dan peran di wilayah domestik. Terkait bagi beban antara laki-laki dengan perempuan, di beberapa kabupaten di Aceh perempuan selain bekerja di sawah mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah, dan ini termasuk persoalan perempuan yang paling klasik secara budaya.

Bagi peran di wilayah domestik belum merupakan hasil perundingan, tetapi masih konstruksi budaya turun temurun. Sehingga kritik atas budaya ini masih perlu didiskusikan untuk melihat apakah tradisi ini dipaksakan kepada perempuan atau sudah merupakan kesepakatan berbagi peran antara laki-laki dengan perempuan.

Gerakan perempuan Aceh tidak boleh terjebak untuk mengukur keberhasilan gerakannya dengan banyaknya perempuan yang pergi ke wilayah publik. Karena tidak mungkin menafikan bahwa peran-peran domestik perempuan signifikan, sehingga keberhasilan para ibu yang mendidik anak-anak dan mengayomi keluarga di rumah sebagai bagian terpenting pembangunan peradaban suatu bangsa. Dan ini harus mendapat nilai yang sepadan jika dibandingkan dengan keberhasilan gerakan perempuan Aceh dari sisi banyanknya yang menjadi tuha peut, camat, anggota legislatif atau wali kota.

Refleksi kesadaran

Ketika perempuan Aceh melakukan gerakan, sangat kuat refleksi kesadaran bahwa ini adalah gerakan politik yang membawa seluruh aspirasi masyarakat perempuan Aceh dan diperjuangkan oleh seluruh komponen perempuan Aceh.
Tidak hanya organisasi baik LSM perempuan atau organisasi perempuan lainnya, tapi juga secara individu. Sehingga refleksi yang dilakukan menjadi refleksi yang mampu mentransformasi setiap perubahan yang telah dilakukan selama ini.

Salah satu yang sangat terlihat adalah bagaimana keterlibatan penuh gerakan perempuan Aceh dalam Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) memperbaiki konsep syariat Islam di Aceh.

Mereka bukan lagi berada pada posisi sekadar anti dan tolak syariat Islam, namun sudah sampai kepada tahapan bagaimana merumuskan konsep syariat Islam dengan alat ukur Islam humanis untuk menilai praktek pemerintahan yang Islami dan penerapan Islam yang humanis di Aceh yang tidak melulu mengatur urusan perempuan. Hal ini merupakan perubahan yang sangat fundamental bagi perakan perempuan Aceh.

Refleksi-refleksi ini didorong oleh kesadaran yang kuat bahwa Aceh memiliki karakter kebudayaannya sendiri. Sejalan dengan itu paradigmatis gerakan perempuan Aceh sejatinya memiliki karakter yang identik dan membumi dengan konteks Aceh, sehingga gerakan perempuan Aceh tidak bisa menghindar dari mendiskusikan konsep syariat Islam yang mengejawantah dalam adat di Aceh dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.

Gerakan Perempuan Aceh harus menyikapi secara serius skema perubahan terkait dukungan dunia luar terhadap persoalan Aceh baik secara ekonomi maupun politik. Gerakan Perempuan Aceh tidak boleh tidak harus membangun kekuatan dari dalam baik dari sisi mendorong memperkuat masing-masing organisasi perempuan maupun komunitas akar rumput dengan semangat swadaya maupun menumbuhkan kekuatan fundrising yang akan membangun kemandirian dari sekian banyak organisasi perempuan yang memiliki kelompok-kelompok dampingan di berbagai daerah di Aceh.

Dalam menyikapi isu partisipasi perempuan dalam politik, penting untuk digarisbawahi bahwa gerakan perempuan Aceh harus memiliki peta yang akurat, terkait siapa saja yang akan mempersiapkan diri menjadi calon legislatif. Perempuan Aceh harus kembali menduduki posisi pengambil keputusan dan tidak boleh berpuas diri dengan meningkatnya jumlah perempuan di kursi legislatif yang memperjuangkan kepentingan partainya.

Strategi massif

Gerakan perempuan Aceh harus membangun strategi massif, koordinasi dan mempersiapkan kader yang dipastikan akan memperjuangkan kepentingan perempuan dan rekomendasi DPIA, serta isu strategis lainnya dalam setiap pengambilan keputusan strategis di level legislatif maupun partai.

Demikian pula dalam merumuskan indikator keberhasilan, hendaknya gerakan perempuan Aceh menjadikan kekhasan Aceh dalam hal adat dan syariat Islam sebagai satu kesatuan kultur identitas Aceh.

Terakhir, gerakan perempuan Aceh harus tetap pada titahnya yaitu menjadi energi bagi perubahan Aceh, menuju terwujudnya Aceh baru yang berkeadilan, damai, bermartabat dan sejahtera dengan kebijakan yang berpihak pada perempuan melalui proses partisipasi politik perempuan di berbagai level dan membangun konsep pendidikan yang adil gender.

Haba Ureung Inong Edisi 1
Haba Ureung Inong Edisi 1
WPS Edisi 1.pdf
4.3 MiB
501 Downloads
Rincian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *