Pada tanggal 26 Mei 2015 kemarin, International NGO Forum on Indonesia Development atau yang disingkat dengan INFID melakukan lokakarya di Aceh dengan tema Suara Aceh untuk Pembangunan Pasca 2015. Acara ini diadakan di Hotel Sultan dan didukung oleh beberapa LSM dan organisasi lokal seperti Flower Aceh, Koalisi NGO HAM, Forum LSM Aceh, dan Pusat Studi HAM Unsyiah.

Kegiatan yang dihadiri oleh pejabat publik, akademisi, dan aktifis ini menghadirkan empat narasumber sebagai pemateri. Materi pertama diisi oleh Sugeng Bahagijo (Direktur INFID), materi kedua disampaikan Martunis Muhammad dari Bappeda Aceh, materi ketiga oleh Khairani Arifin sebagai perwakilan Gerakan Perempuan Aceh dan materi keempat diberikan oleh Zulfikar Muhammad dari Koalisi NGO HAM.

Pada presentasi pertama yang berjudul Pembangunan Pasca-2015 sebagai Agenda Transformatif ?, Sugeng menjabarkan bagaimana kesenjangan pembangunan antara wilayah Jawa dengan luar Jawa masih sangat besar, yakni sebesar 83 dan 17%, bahkan tidak mengalami perubahan dalam 12 tahun terakhir. Karena kesenjangan dan pembangunan belum merata inilah maka Indonesia, termasuk Aceh, perlu untuk berpartisipasi dalam pembangunan global pasca MDGs ini.

Pembangunan Pasca-2015 (ada yang menyebutnya SDGs, singkatan dari Sustainable Development Goals) bisa dikatakan berbeda dengan MDGs. Bila MDGs bersifat top-down, maka SDGs bersifat partisipatif. Selain itu, tujuan SDGs jauh lebih banyak dari pada MDGs. Jika MDGs hanya memiliki 8 isu pokok untuk pembangunan, maka SDGs memiliki 17 isu utama pembangunan sampai 2030 nanti.

Mengenai kondisi pembangunan di Aceh, Marthunis Muhammad mengaku bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Aceh semakin membaik, namun perkembangannya berjalan sangat lambat. Makanya pengangguran dan kemiskinan masih sangat tinggi di Aceh. Di forum ini, lulusan dari Amerika Serikat ini juga mengkhawatirkan ketahanan pangan di Aceh untuk beberapa tahun ke depan.

Di sesi selanjutnya, aktivis perempuan yang juga ketua Pusat Studi HAM Unsyiah, Khairani Arifin memaparkan Peran Perempuan dalam Pembangunan Pasca Pembangunan 2015. Ada fakta-fakta menarik yang dibeberkan, misalnya: jumlah perempuan di legislatif masih sangat terbatas, angka kekerasan berbasis gender masih tinggi (tercatat 205 kasus di 2014), jumlah kematian ibu masih tinggi (219/100.000 kelahiran), belum lagi angka kemiskinan yang juga masih cukup tinggi.

Oleh sebab itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengurangi berbagai persoalan yang berkaitan dengan perempuan, diantaranya pemerintah Aceh harus lebih responsive gender dan memfasilitasi perempuan untuk berpartisipasi secara efektif di pemerintah lokal. Hal ini bukanlah perkara gampang, karena budaya patriarkhi masih kental di masyarakat Aceh.

Di pemaparan terakhir, Zulfikar (Direktur Koalisi NGO HAM Aceh) mengatakan bahwa mencapai target SDGs bukanlah perkara yang mudah. Semua elemen harus bekerja bersama-sama. Apalagi konteks HAM, SDGs menghendaki pengurangan segala bentuk kekerasan yang berakibat kematian. Sementara di Aceh, gejolak konflik masih ada. Karena itu, tujuan SDGs terkait dengan HAM di Aceh adalah sebuah kerja berat kita semua.

Setelah pemaparan dari narasumber, lokakarya ini dilanjutkan dengan diskusi untuk mengindentifikasi dan merumuskan tantangan pembangunan pasca 2015. Nursiti dari Balai Syura menjadi fasilitator. Melalui diskusi yang alot, akhirnya forum ini menelurkan enam rekomendasi. Pertama, mensharing dokumen resmi hasil analis. Kedua, koordinasi berkelanjutan. Tiga, mensharing hasil evaluasi MDGs. Empat, sosialisasi SDGs ke Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Lima, audiensi ke pengambilan keputusan tentang hasil MDGs dan mereview analisis kebijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *