Flower Aceh Media

Mendekati kompetisi terbuka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah di depan mata, stamina ekonomi Aceh bukannya menguat, tetapi semakin loyo. Data dari BPS terbaru (Serambi  16/9/2015) menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Aceh meningkat sebesar 14.000 orang sejak September 2014. Total keseluruhan rakyat miskin di Negeri Syariat ini menjadi  851.000 jiwa (mendekati 1 juta).

Mantan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, mendefinisikan seseorang individu dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

Ketika seseorang menjadi miskin, maka daya belinya menurun. Saat ada 851.000 warga Aceh yang kemampuan membeli kebutuhan primernya (saja) terbatas, maka dipastikan penjualan barang-barang sekunder dan tersier menjadi tak laku bahkan ada pedagang yang harus gulung tikar. Penjual yang berhenti berdagang ini menjadi pengangguran baru. Alurnya, kemiskinan akan menambah jumlah pengangguran dan pengangguran akan menambah angka kemiskinan.

Ini juga yang menjelaskan kenapa Aceh tidak memiliki mall-mall besar seperti tetangganya Medan. Jumlah orang miskin yang tinggi memberi isyarat kepada investor bahwa orang Aceh tak mampu membeli barang-barang berkualitas tinggi yang biasanya tersedia di Mall. Akibatnya, standar hidup masyarakat Aceh naiknya lambat.

Singkat kata, Aceh sebenarnya sedang menghadapi krisis ekonomi. Sayangnya, elit politik kita tidak begitu mementingkan kondisi ekonomi rakyat. Bagi mereka politik kekuasaan dan politik agama adalah panglima. Kesejahteraan rakyat diukur jika Aceh sudah bisa mengibarkan benderanya sendiri dan pelaksanaan Shalat Jumat sudah mengikuti penafsiran mazhab tertentu. Energi dan waktu dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang sebenarnya tidak substansial.

Pertanyaannya, saat pemerintah tak bisa diharapkan untuk pemulihan ekonomi, apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin bisa mandiri secara finansial?

Kita bisa belajar dari dua desa di Kabupaten Nias (Sirombu dan Bawo’otalua).  Seperti gampong di Aceh, dua desa ini juga luluh lantak oleh tsunami satu dekade lalu. Pada mulanya masyarakat bergantung pada bantuan pemerintah dan dana asing. Namun sebuah LSM lokal melakukan penguatan kapasitas masyarakat dan mampu menyadarkan bahwa jika ingin mandiri secara ekonomi, harus berhenti berharap dari bantuan kemanusiaan. Betapapun miskinnya, tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Masyarakat miskin desa diajak bangkit, belajar menabung, dan mengelola keuangan secara kelompok melalui sistem Credit Union (CU). Saat ini, tabungan masyarakat desa itu hampir mencapai 13 milyar, mampu mendirikan bangunan di desa, dan mandiri secara keuangan tanpa pertolongan pemerintah.

Bandingkan dengan Aceh, sepuluh tahun lamanya provinsi ini diguyur hujan duit dari dana otsus dan bantuan asing. Program-program pembangunan senilai triliunan rupiah dihabiskan untuk membangun gedung-gedung megah, namun tidak mampu membangun jiwa mandiri di masyarakat bawah. Pembangunan bersifat fisik, bukan budaya sosial yang beretoskan kemandirian. Hasilnya, provinsi ini memiliki infrastruktur yang megah, perubahan pun tampak di luar (fisik), namun karena budaya kemandirian tak dibangun maka masyarakat masih digerogoti kemiskinan.

Kesimpulan paragraf diatas semakin sahih setelah  beberapa hari yang lalu penulis menyaksikan sendiri sebuah fenomena unik. Yakni saat dua staf NGO asing mengunjungi sebuah desa yang sering mendapat bantuan pasca Tsunami. Maksud kunjungan untuk melihat capaian pembangunan, terutama  dalam hal pencegahan bencana, air bersih dan sanitasi. Di sesi tanya-jawab, seorang warga melontarkan kalimat, “kalau Bapak ada dana hibah, kami siap dan dengan senang hati menerima”.

Pernyataan lugu itu membuat sang tamu asing kaget dan seperti tersadar. Setelah sepuluh tahun mendapat bantuan kemanusiaan,  masyarakat  menjadi manja. Terbiasa  mendapat pertolongan gratis membuat warga memliliki mental ‘menerima’ bukan mental ‘menghasilkan’. Dan memang desa tersebut sampai saat ini belum bisa mandiri.

Program-program pengentasan kemiskinan sejak dari dulu sudah diluncurkan di Aceh dengan hasil program yang mengecewakan. Sering luput dari perhatian kita, bahwa yang membuat masyarakat jadi miskin bukan hanya karena pemerintah yang tidak becus, tapi juga karena budaya masyarakat yang kontra dengan pertumbuhan ekonomi.

Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan seperti program modal usaha akan berjalan ditempat jika masyarakat tidak memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship), program pendidikan gratis akan tidak berdampak jika tanpa ditanam etos gemar belajar dan rajin membaca, program kesehatan gratis akan membengkakkan pengeluaran kas daerah jika masyarakat tidak memiliki pola hidup sehat. Intinya, sebuah rekayasa sosial akan gagal jika budaya masyarakatnya tidak ikut disiapkan.

Kemiskinan adalah sebuah fenomena sosial yang rumit karena akar penyebabnya bercabang dan terkait satu sama lain. Oleh karena itu, untuk memerangi kemiskinan tak bisa hanya memakai satu jurus seperti program-program pemerintah yang sifatnya top-bottom. Seandainya kemiskinan bisa diatasi dengan program-program kesejahteraan sosial, maka seharusnya dari dulu sudah tidak ada lagi orang miskin di muka bumi. Sejak pasca Perang Dunia II sampai era Sustainable Development Goals (SDGs) ini, negara-negara kaya sudah menggelontorkan triliunan dollar untuk membantu negara miskin melalui program pembangunan internasional. Namun sampai sekarang, kemiskinan adalah program pembangunan yang tak selesai-selesai

Program pengentasan kemiskinan yang sudah direncanakan Bappeda seperti bedah rumah, penyediaan rumah layak huni, kesehatan gratis, dan beasiswa miskin akan sangat membantu mengurangi beban rakyat miskin. Namun penulis ragu jika program kesejahteraan ini akan membuat masyarakat miskin menjadi mandiri secara finansial jika mental, pola berpikir dan pola hidup mereka tidak ikut diubah. Revolusi mental inilah yang sulit.

Belajar dari pengalaman NGO dan LSM, pihak yang mampu menggerakkan masyarakat untuk bangkit dan berubah adalah tokoh masyarakat yang suaranya didengar dan diikuti. Di setiap daerah miskin, Bappeda sebaiknya melakukan indentifikasi siapa tokoh dengan kualifikasi ‘didengar dan diikuti’ ini, lalu mengajaknya ikut serta dalam agenda pengentasan kemiskinan. Tokoh inilah yang bisa memotivasi warga untuk memulai hidup baru dengan budaya menabung dan kerja keras. Program-program pembangunan pemerintah hanya akan efektif jika ada partisipasi aktif dari masyarakat miskin itu sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka sendiri.

Penulis : Mirza Ardi (Staf Kampanye FLower Aceh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *